BATAVIA: KOTA RENDEZVOUS

Editor  : Rifky Agnia Darus

Konten  : Shafiya Niankirana

Oleh       :  Alfonsus Tegar

Kekuasaan VOC sangat erat kaitannya dengan kota Batavia. Kehadiran Batavia menghasilkan perubahan sekaligus perkembangan masyarakat. Kota ini merupakan pusat pertemuan atau tempat berkumpulnya suatu kongsi dagang, bangsa, budaya, dan agama. Tulisan ini memaparkan Batavia sebagai kota Rendezvous yang memiliki pengaruhnya hingga masa kini. Batavia merupakan tempat bertemunya para pedagang dari berbagai negara, para penguasa seperti Gubernur Jenderal VOC dan para pejabat lainnya, serta masyarakat yang saling berinteraksi satu sama lainnya.

Batavia sebagai kota rendezvous memiliki peran penting sebagai pusat pemerintahan dan markas besar VOC di Jawa. Apa yang menjadi latar belakang kota Batavia sebagai rendezvous? Serta bagaimana pengaruhnya bagi perkembangan kota dan masyarakat Batavia? Mari simak pembahasannya dalam artikel sederhana ini.

Dari Sunda Kelapa Hingga Batavia

Batavia yang sekarang dikenal sebagai kota metropolitan Jakarta, dahulu merupakan kota pelabuhan yang terkenal dan memiliki peran penting. Pada mulanya kota tersebut bernama Sunda Kelapa, yang merupakan suatu kota pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran sekitar abad ke-12. Kota tersebut menjadi bandar terbesar daerah Sunda, tempat persinggahan serta kota perdagangan rempah-rempah bagi bangsa Arab, Eropa dan India. Sunda Kelapa mulai menjadi daya tarik orang Eropa melalui seorang pelaut Belanda yang pernah berlayar bersama bangsa Portugis, yaitu Jan Huygen Van Linschoten. Dalam karyanya yang berjudul Itinerario, Linschoten menulis:

“Pelabuhan utama di pulau ini (Jawa) adalah Sunda Calapa… Ditempat ini… didapati sangat banyak lada yang bermutu lebih baik daripada lada India atau Malabar… Juga banyak terdapat kemenyan, benicin atau bonien atau bunga pala, kamper, dan juga permata intan. Tempat ini dapat didatangi tanpa menemui kesulitan karena orang Portugis tidak sampai ke sini, karena orang Java (Jawa) berbondong-bondong datang sendiri sampai ke Malaka untuk menjual barang-barang dagangannya.” (Hanna, 1988: 1).

       Lama sebelumnya, bangsa Portugis telah didahului oleh saudagar Tionghoa dan Arab yang membawa rempah-rempah melalui Teluk Parsi kepada pembeli Eropa yang berhasrat. Linschoten selanjutnya menerangkan:

“Lada digunakan di dapur dan di apotik, sekalipun di kedua tempat ini bukan sebagai bahan makanan melainkan untuk pemeliharaan kesehatan badan: lada menghangatkan perut dan menghilangkan lender-lendir dingin perut; untuk mengurangi rasa sakit perut yang disebabkan oleh cuaca dingin dan angin, baik sekali jika orang memakan butir-butir lada halus setiap pagi. Penderita pandangan kabur, sebaiknya meminum butir-butir lada dengan adas manis, biji adas dan cengkeh, karena dengan demikian selaput yang mengaburkan mata akan berkurang dan hilang. Para apoteker membuat ramuan yang ampuh bagi perut dingin, penyakit Nuken (tingkah laku ganjil) sakit lever dan penyakit bususng (Dropsie)” (Hanna, 1988:1-2).

Catatan Linschoten tersebut menunjukkan bahwa Batavia sejak masa Sunda Kelapa sudah memiliki daya tarik tersendiri untuk para pendatang.

Gambar 1. Batavia sebagai daya tarik pelayaran dan perdagangan dari berbagai negara

gambar1

Sumber: Dave. The Dutch East India Company (VOC): Indonesian Chapter. Online. https://www.indoneo.com/en/travel/the-dutch-east-india-company-voc-indonesian-chapter/. Diakses 6 November 2018, 01:20 WIB.

Sunda kelapa dikuasai oleh Banten sejak tahun 1527 dan diberi nama Jayakarta. Pada awal abad ke-17 Jayakarta berada di bawah kekuasaan Pangeran Jayakarta. Sekitar tahun 1609, Gubernur Jenderal VOC pertama, Pieter Both meminta izin kepada Pangeran Jayakarta untuk mendirikan sebuah benteng dengan yuridiksi sendiri. Akhirnya, VOC diberikan izin untuk mendirikan benteng di suatu lapangan yang terletak di pecinan dengan ukuran 50 dan 50 vadem (satuan ukuran) di tahun 1611.

            Jan Pieteszoon Coen telah merebut Jayakarta dengan membakar habis kompleks ndalem penguasa Jayakarta di tahun 1619. Seluruh penduduk Bumiputra Jayakarta pergi melarikan diri dan diusir pergi dari kota, hanyalah beberapa orang Tionghoa yang bekerja sebagai pekerja bagi VOC yang diperbolehkan menetap di kota. Akhirnya pada 30 Mei 1619, J.P.Coen meresmikan Jayakarta menjadi Batavia. Awalnya ia ingin memberi nama Nieuw Hoorn, untuk mengenang Hoorn yang merupakan kota asalnya, tetapi nama Batavia sudah sesuai dengan perintah dari markas VOC di Belanda.

 

Sebab-Sebab Menjadi Kota Rendezvous

Sejak awal didirikan, VOC gencar melakukan perluasan perdagangan dan monopoli rempah-rempah demi meningkatkan perekonomian mereka. VOC membutuhkan suatu rendezvous (titik pertemuan) dan pusat kegiatan, di mana pelabuhan, kantor-kantor dapat dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan serta berfungsi dengan aman. Sebelumnya, VOC memiliki faktorai (pusat perdagangan) di Jawa yaitu Banten sejak 1603 dengan kondisi perdagangannya yang ramai.

Tetapi, kondisi Banten tidak menguntungkan karena beberapa alasan. Pertama, tingkat kasus pencurian, perampokan, dan pembunuhan yang tinggi menjadikan kondisi keamanan Banten memprihatinkan. Lalu adanya kehadiran Inggris dan Portugis yang sering menyebabkan bentrokan diantara mereka. Dan terakhir, sering terjadi konflik dan insiden antara anak buah VOC dan orang-orang Inggris. Alasan tersebut menyebabkan Batavia dipilih sebagai rendezvous.

Sebenarnya, Maluku juga sempat dipilih sebagai suatu rendezvous, tetapi benteng-benteng Belanda di sana terlalu terpencil letaknya sehingga kurang sesuai sebagai pusat pertemuan dan pemerintahan. Sehingga, Batavia lah yang dipilih sebagai pusat pertemuan dimana angin-angin musim dan rute-rute perdagangan laut bertemu. Batavia juga memiliki letak geografis yang sangat strategis di daerah dekat jalur pelayaran yang sangat strategis di daerah dekat kawasan barat (India) dan kawasan timur (Cina).

Batavia juga turut serta berperan dalam perdagangan di Jalur Sutra. Potensi alamiah Batavia, berupa teluk, gugusan kepulauan seribu dan posisinya yang berdekatan dengan Pulau Sumatera dan Selat Malaka menjadikannya sebagai bandar yang strategis, ramai, sekaligus menjadi pusat niaga dan pemerintahan.

Peran Batavia sebagai Rendezvous

Batavia sebagai rendezvous memiliki peran penting, bahkan selepas masa VOC. Dalam bidang pemerintahan beberapa lembaga dibentuk di sana, seperti dewan kota dan pengadilan. Lembaga-lembaga pemerintahan pusat dan para pegawai VOC terpusat dalam Kasteel (Benteng) Batavia. Semua kegiatan pemerintahan diatur dan dibuat di Batavia. Armada dan pelabuhan maritim yang ramai menjadi daya tarik mancanegara.

Jean Gelman Taylor (2009), dalam bukunya yang berjudul Kehidupan Sosial di Batavia, menyatakan bahwa Batavia merupakan tempat semua perintah dan kebijakan yang berlaku bagi semua wilayah VOC di Asia ditetapkan. Semua lembaga penting VOC di Asia berlokasi di Batavia, diantaranya Dewan Pemerintahan Asia, pengadilan tinggi, kantor kepala pembukuan dan gudang-gudang.

Gambar 2. Batavia sebagai pusat pemerintahan VOC

new 2

Sumber : Niemeijer, H. E. The Central Administration of the VOC Government and the Local Institutions of Batavia (1619-1811)- an introduction. Online. https://sejarah-nusantara.anri.go.id/about-the-voc-and-its-archives/. Diakses 5 November 2018, 23.55 WIB.

Karena lokasinya yang strategis dan memiliki daya tarik lebih, banyak orang dari berbagai negara datang ke Batavia untuk berdagang, liburan, maupun urusan politik. Pelabuhan Batavia yang merupakan rendezvous bagi para pedagang dari berbagai negeri membuat kondisi perdagangan di kota ini menjadi ramai. Orang-orang Tionghoa merupakan etnis yang telah datang ke Nusantara jauh sebelum kedatangan Eropa untuk berdagang. Willem Pieter Groeneveldt, seorang ahli sejarah dari Belanda, dalam karyanya yang berjudul Notes on the Malay Archipelago and Malacca: Compiled From Chinese Sources, menyatakan bahwa sudah sejak tahun 400an orang Tionghoa menginjak bumi Nusantara.

Leonard Blusse (2004), dalam bukunya yang berjudul Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC, menjelaskan bahwa orang-orang Tionghoa umumnya datang ke Hindia Belanda untuk berdagang. Selain dari para pedagang, banyak juga dari mereka yang dijadikan sebagai budak atau kuli kontrak dan ada yang menjadi penjudi-penjudi besar di Hindia.

Banyak orang Tionghoa dari Banten dan Malaka yang bermigrasi ke Batavia dalam jumlah yang cukup besar. Orang-orang Belanda dan Tionghoa sering menikahi orang pribumi, terutama dari kalangan budak, sehingga terjadilah beragam akulturasi budaya. Kendati demikan, tidak hanya orang asing yang datang ke Batavia saja, melainkan juga orang-orang dari beberapa daerah di Hindia, seperti Jawa, Bali, Bugis, Sumatera, dan Sulawesi.

Di Batavia, para penduduk dikategorikan menjadi beberapa golongan. Di dalam tembok kota terdapat orang-orang Eropa, Mestizos (Indo-Portugis/Belanda), Kristen Pribumi, Tionghoa, Islam, dan para budak. Sedangkan, di luar tembok kota terdapat orang- orang Belanda, Mestizos, Mardijkers (budak-budak yang telah dibebaskan), Tionghoa, dan suku-suku di penjuru Nusantara seperti: Ambon, Banda, Bugis, Buton, Jawa, Bali, dan lainnya, serta para budak.

Batavia sebagai kota rendezvous telah menimbulkan berbagai macam perubahan dan berdampak bagi masa kini. Faktor yang menjadi pendukung utama Batavia sebagai kota rendezvous adalah kegiatan perniagaan. Perdagangan, khususnya rempah-rempah membuat banyak kalangan berbondong-bondong datang ke Hindia, terutama Batavia. Faktor ini mendorong munculnya kegiatan dan aspek sosial lain. Dari kebutuhan untuk berdagang munculah kebutuhan untuk membentuk pemukiman, menyusun sistem pemerintahan, mengklasifikasi kelas sosial, menyebarkan agama dan menyebabkan adanya akulturasi budaya. Setelah VOC meninggalkan Batavia, (hingga saat ini) kota ini tetaplah menjadi pusat pertemuan. Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, maupun Jakarta tetaplah menjadi kota yang memiliki kekayaan historis dan budaya.

Sumber:

Blusse, L. 2004. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Boxer, C. 1985. Jan Kompeni. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Groeneveldt, Willem P. 1876. Notes on the Malay Archipelago and Malacca: Compiled From Chinese Sources. Batavia: Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Hanna, W. A. 1988. Hikayat Jakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kartodirdjo, S. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Leirissa, R. Z. (Penyunting). 1997. Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Lolo, T. A. (Penyunting). 2002. VOC di Kepulauan Indonesia. Den Haag: Kedutaan Besar Republik Indonesia Den Haag.

Simbolon, P. T. 1995. Menjadi Indonesia Buku I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kompas-Grasindo.

Taylor, J. G. 2009. Kehidupan Sosial di Batavia. Jakarta: Masup Jakarta.

Posted in: Tidak Dikategorikan

Tinggalkan komentar